- Telepon : +(62) 811 555 1962
- Email : humas@unmul.ac.id
- Jam Kerja : Senin - Jumat : 08:00 - 16:00
Universitas Mulawarman
Sistem Pelayanan Kesehatan Jadi Pembelajaran
Dr. dr. Arie Ibrahim SpBS(K) baru saja pulang dari Jerman. Dosen dan Kepala Unit Riset Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda itu berbagi pengalaman selama mengikuti kegiatan akademik di Negeri Hitler tersebut.
“Puluhan pakar kedokteran dan ilmu kesehatan berkumpul di Heidelberg University Hospital, Neuenheimer Feld 365 atau Institute of Global Health Heidelberg. Mereka menghadiri seminar kesehatan bertajuk Decision Making in Public Health and Medica Messe 2018,” ungkapnya.
Kegiatan ini berlangsung 15 sampai 17 November 2018 yang digelar di kampus tersebut. Bukan sembarang orang yang dapat menjadi tamu undangan. Sebagian peserta merupakan alumnus Setimmediate (penerima beasiswa) Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD) yang berasal dari berbagai belahan dunia.
Dari Indonesia hanya diwakili empat orang yang salah satunya adalah dr. Arie Ibrahim dari Kalimantan Timur (Kaltim), beliau merupakan satu-satunya dokter yang menghadiri acara tersebut. “Kedatangan saya di Jerman juga bukan hal gampang. Terlebih dahulu harus lolos seleksi. Proses ini memakan waktu sekitar tiga bulan. Tepatnya melalui jejaring surat elektronik,” ujarnya. Tidak hanya menjadi peserta, Pria yang mengenyam pendidikan S-3 di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta itu, juga diminta hadir sebagai pembicara dan pemerhati.
Dirinya membawakan materi yang sesuai dengan sub-spesialisasinya yakni pada bidang minimal invasive neurosurgery. Dengan presentasi pola non-communicable disease (NCD). Salah satu yang menjadi pembahasan mantan Pembantu Dekan III FK UNMUL itu adalah pola penyakit di Indonesia, khususnya Kaltim.
“Saat ini, kondisi dihadapkan pada pola double burden. Artinya penyakit infeksi mempunyai tren cenderung menetap. Sementara penyakit non-infeksi seperti diabetes mellitus, hipertensi, obesitas sentral dan strok justru semakin meningkat tajam, baik morbiditas maupun mortalitasnya. Ternyata pola penyakit seperti ini dihadapi juga oleh sebagian besar negara developing countries yang menghadiri seminar,” ucap mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kaltim itu. Walau berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Diskusi dan komunikasi yang tercipta dalam pertemuan ini berjalan sangat baik. Menurutnya, ada banyak kajian yang didapat setelah peserta menyampaikan presentasi masing-masing.
“Kajian ilmiah yang didapat dari diskusi grup turut disampaikan dalam sebuah presentasi pada akhir seminar di Medica 2018 yang berlangsung di Dusseldorf, Jerman. Dalam kegiatan tersebut hadir pejabat daerah Nordrhein-Westfalen, pejabat DAAD dan perwakilan Universitas Heidelberg. Rencananya semua presentasi dipublikasikan pada portal resmi DAAD-Jerman,” tuturnya.
Hal yang menarik perhatian selama mengikuti seminar ini jelasnya, yakni, pembelajaran dari sistem pelayanan kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran di negara bagian Baden-Wurttemberg. Status kepemilikan rumah sakit pendidikan atau Heidelberg University Hospital merupakan milik pemerintah negara bagian Baden-Wurttemberg. Sehingga bukan milik Kementerian Kesehatan Jerman atau Kementerian Pendidikan Tinggi Jerman.
Menurut dia, hal tersebut mempunyai makna penting dalam tata kelola operasional. Dengan begitu, alur birokrasi bisa lebih pendek melalui satu pintu yaitu Pemerintah Negara Bagian Baden-Wurttemberg. Kemudian, para profesor dokter dan dokter spesialis yang bekerja di Heidelberg University Hospital, tak hanya menjalankan fungsi pelayanan, seperti pemeriksaan pasien atau operasi secara simultan dan komprehensif. Namun, mereka wajib juga menjalankan fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. “Tidak ada dikotomi atau pengotak-ngotakan status dan fungsi tenaga medis. Sehingga masing-masing fokus pada tugas dan fungsinya,” beber dia.
Kemudian tidak ada dikotomi pendanaan, baik untuk gaji rutin pegawai dan jasa medik dokter. Tidak ada dikotomi administrasi kepegawaian yang tentunya akan menghambat karier pegawai. Bahkan, merugikan institusi dalam meraih the highest achievement level. “Ini tentu tidak bisa begitu saja diterapkan pada kita,” imbuhnya. Alumnus spesialis bedah Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung itu juga menuturkan, pengalaman bertandang ke Heidelberg University memberikan pelajaran baru. “Well planned and programmable, highest,” tegasnya. Bahwa untuk menjadi world class medical faculty dan world class hospital university memerlukan perjalanan panjang. (kp/hms/frn)
Bahas Stroke Kaltim Hingga Alat Modifikasi dalam Kongres Internasional
Tanggal : 30 November 2018